UPAYA UNTUK DILAKUKAN OLEH PERPUSTAKAAN TERHADAP PRESERVASI DAN KONVERASI BAHAN PUSTAKA BUKU-BUKU SEJARAH KERAJAAN PENGGING

Dita Kistika Reni
D1814032
20 Desember 2016

 PENDAHULUAN

Situs keraton Pengging berada didesa Ngaru yang termasuk wilayah Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah, jika diukur dari permukaan air laut ketinggian situs sekitar 177 meter dengan letak astronomis 40 21 1311 Bujur Timur dan 70 131 39 ½ 1 Lintang Selatan

Kawasan ini memiliki kepadatan penduduk 1.776 jiwa / km2, pada umumnya masyarakat hidup disektor pertanian khususnya tanaman pangan, daerah ini merupakan salah satu daerah subur dan andalan penghasil pangan bagi kabupaten Boyolali.

PEMBAHASAN

Pengertian keraton
Istilah keraton berasal dari kata ka-ratu-an, maksudnya adalah tempat bersemayam bagi ratu. Di samping keraton, istilah kadaton sering juga digunakan untuk menyebut pengertian yang sama. Istilah kadaton berasal dari kata ka-dhatu-an, maksudnya adalah tempat bersemayam bagi para dhatu. Ada pula yang menyatakan bahwa keraton berasal dari bahasa Sansekerta, kratu yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, arti keraton di samping sebagai tempat bersemayam para ratu/raja juga diartikan sebagai sumber/tempat kebijaksanaan. Sumber yang dimaksud adalah raja. Oleh karena itu pula keraton pada zaman dulu diakui sebagai tempat tinggal ratu dan memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan, secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan bangunan wilayah Keraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati) Sama seperti rumah, keraton atau istana terdiri atas beberapa bagian bangunan atau tempat yang mempunyai fungsi berbeda-beda. Di samping itu, ditinjau dari keseluruhan bangunan/tempat di dalam keraton, semuanya mengandung arti kefilsafatan, kebudayaan, dan keagamaan. Istilah keraton sering pula diidentikkan dengan pengertian negara. Ada juga yang mengartikan bahwa keraton adalah bangunan yang berpagar dan berparit keliling sebagai pusat kerajaan, tempat bersemayam raja-raja dengan kerabat/keluarganya Istilah keraton sudah jarang digunakan oleh umum. Istilah kraton-lah yang lebih sering digunakan/populer. Hal ini berkait erat dengan proses peluluhan huruf e dalam pengucapan kata keraton yang telah berlangsung cukup lama.

Keraton ditinjau dari sisi arkeologis hanyalah sebuah artefact (monumen bisu), namun apabila ditinjau dari sisi historiografi merupakan monumen hidup (living museum) yang dapat menjadi sumber sejarah kemanusiaan maupun saksi peradaban kekuasaan, pemerintahan, budaya dan agama secara sekaligus. Hal ini dikuatkan adagium yang mengatakan bahwa Sejarah adalah kenyataan politik masa lalu, sedangkan Politik adalah kenyataan sejarah bagi masa yang akan datang. Kraton dalam sejarah panjang kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai kekuasaan seorang raja atas rakyat, budaya dan agama, baik ditinjau secara mithos ataupun secara spiritualitas legitimasi kekuasaan atas agama dan budaya ternyata mampu menggantikan peran demokrasi pada saat itu, karena hubungan antara kawula lan gusti dalam konteks mikrokosmos (jagad alit) dilakukan atas dasar rasa saling percaya, saling menjaga, saling melindungi, saling menghormati, dan masing–masing menempatkan diri pada posisinya sesuai peran, fungsi dan stratanya (empan-mapan).

Hubungan raja dengan abdi dalem tidak ada sekat pemisah karena dalam struktur kepunggawaan /kepemerintahan menggunakan bahasa bagongan dan sistim interaksi timbal-balik sebagaimana relasi Ksatria dengan Punokawan, dimana seorang raja diibaratkan sebagai ksatriya selalu membutuhkan kehadiran pamomongnya yang diidentikkan dengan sosok Ki Lurah Semar (Ki Badranaya/Begawan Ismoyo) beserta Gareng, Petruk, Bagong yang berfungsi sebagai kawan bercanda, tempat bertanya sekaligus sebagai penasehat spiritualitas, politik maupun filsafat. Sunan Kalijaga dalam Wayang Purwo menambahkan sosok Punokawan sebagai manifestasi rakyat kecil (kawula alit) yang berperan sebagai penyeimbang dalam kehidupan kekuasaan (elit) yang dimanifestasikan seorang ksatria/raja. Prinsip keseimbangan ini untuk menghapus sistim klas (kasta) dalam struktur sosial Jawa agar tidak sama dengan struktur sosial India sebagaimana sejarah peradaban kekuasaan yang dikisahkan dalam Mahabarata.( A. Daliman : 2001) Penentuan lokasi Keraton Pengging yang diapit oleh dua buah sungai besar yaitu Sungai Sungsang dan Sungai Pepe, hal ini dapat dianalogikan dengan pemilihan lokasi bangunan suci oleh orang – orang Hindu. Menurut kitab-kitab suci agama Hindu untuk lokasi bangunan suci yang berupa candi dipilih tempat yang berbeda dengan alam sekitarnya karena menampakkan kekuasaan dewa atau keajaiban lainnya. Puncak gunung dan lereng bukit, daerah kegiatan vulkanik, dataran tinggi yang menjulang di atas tepi lembah, tepian sungai atau danau, tempat bertemunya dua sungai, adalah diantaranya daerah yang baik untuk lokasi bangunan suci (Soekmono,1991)

Diskripsi Letak Keraton Pengging
Pemilihan letak Kraton Pengging tidak lepas dari upaya memanfaatkan potensi air disekitar keraton karena bagi ajaran Hindu disebut air disebut dengan “tirtha amrta” yaitu sebagai pembersih pencuci dan juga sebagai unsur pertumbuhan kehidupan masa mendatang ( Nawawi : 1990), mata air yang terdapat disekitar situs keraton Pengging oleh masyarakat Hindu dipandang sebagai tempat “tirtha amrta” , maka tidak mustahil banyak bangunan Hinduistik selalu berdekatan dengan sumber air.

Di sekitar ini ditemukan berbagai artefak antara lain tiga buah Yoni serta reruntuhan batu bata di pemakaman umum dukuh Bodean, bahkan Knebel pernah melaporkan bahwa di Bantulan kecamatan Banyudono kabupaten Boyolali dekat perkebunan tembakau terdapat empat buah arca ganeca, sebuah arca Padmapani, sebuah arca Nandi, sebuah Yoni, sebuah saluran air dan sebuah Makara ( Nawawi : 1990).

Wilayah Pengging mengandung akuifer produktif dengan persebaran yang luas. Akuifer ini mempunyai keterusan sedang dengan muka air tanah yang dangkal (Djaeni : 1982) hingga dipastikan bahwa sejak dahulu kerajaan Pengging meletakkan pertanian sebagai andalan kehidupan masyarakat , mengingat ketersediaan air diwilayah Pengging yang selalu melimpah dan terjadi sebelum masa interaksi budaya Pengging berlangsung. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembentukan fragipan yang dijadikan landasan bagi struktur bangunan ( Sunarto : 1991 ). Struktur bangunan kuno itu dibangun diatas batu padas yang biasa disebut fragipan. Batu padas ini terbentuk karena dua sebab, sebab yang pertama padas tersebut terbentuk selama proses pembentukan tanah atau warisan suatu siklus pelapukan menjadi bahan induk yang sekarang ada. Sebab yang kedua padas itu terbentuk akibat pengolahan tanah terhadap penetrasi air atau dalamnya persebaran akar Vegetasi (Isa Darmawijaya : 1990 ). Proses ini berlangsung secara terus menerus menyebabkan timbulnya padas. Hasil analisis Palinologi menunjukkan teridentifikasi adanya serbuk padi didalam tanah padas tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kehidupan masyarakat Pengging dahulu menitik beratkan pada sektor pertanian dalam waktu yang relatif lama dan berlangsung terus menerus ( Sunarto : 1990 ).

STRUKTUR BANGUNAN

      Adapun bentuk bangunan keraton Pengging diperkirakan seperti model keraton Hindu pada umumnya namun berbentuk lebih sederhana mengingat Pengging bukanlah kerajaan besar yang menguasai wilayah pulau Jawa tetapi lebih cenderung seperti raja bawahan penguasa otonomi daerah. Kemungkinan bentuk bangunan keraton Pengging digambarkan dalam bentuk joglo, yang terdiri atas pendhapa, gandhok, pringgitan, senthong, longkang, dan pawon, yang setiap bagiannya mengadung makna simbolis yang diyakini oleh masyarakat jawa. Sekarang ini mungkin hanya dimiliki oleh sedikit orang Jawa “papan atas” yang masih begitu taat ngugemi (memegang teguh) kejawen-nya. Dalam konsepsi Jawa, rumah adalah satuan simbolis, sosial, dan praktis. pendhapa, bagian depan rumah Jawa, sebagai: pendapa dengan empat saka guru dan delapan tiang penjuru di atas tempat menerima tamu-tamu, sanak kadang, tangga teparo, Yang nggadhuh sawah, ladang, merembuk sesuatu untuk kesejahteraan bersama. ( Darmanto Yatman : 1985 ). Selain itu secara tata letak ada ruang-ruang yang menjadi ciri keraton yaitu sebuah alun-alun dan Magersari sebagai benteng pertahanan lapis dalam. Dengan jalan jalan kecil sebagai lalu lintas keluarga keraton dengan masyarakat luar. Dari data tersebut sangat sayang apabila situs keraton Pengging ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah karena dengan memahami peninggalan masa lampau kita dapat menyelamatkan budaya agung sehingga tidak sia sialah pemerintah berupaya meyelamatkan aset budaya ini yang sangat berguna sekali bagi generasi penerusnya. Jika ditinjau dari aspek budaya jelas situs keraton Pengging ini mempunyai peranan yang sangat penting karena terdapat kesinambungan sejarah masa lalu, kejayaan masa lampau dan menjadi spirit bagi anak turunnya untuk selalu berkarya dan berinisiatif mengisi pembangunan ini.

 PENUTUP

Demikian yang dapat saya paparkan mengenai artikel yang saya sampaikan, tentunya masih banyak kekurangan dalam sebuah artikel.

Sekian dari saya semoga berkenan di hati dan saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.